Dalam tulisan ini Rosihan
Anwar pernah mengajak kita mengulas kembali
makna dari pengertian Demokrasi dalam suatu keadaan berpikir di pikiran kita atau benak kita (
Democracy is state of mind ). Dan
demokrasi itu mempunyai kekuatan berupa
kebebasan ( Democracy is a liberating force ). Yaitu melepaskan manusia dari
kungkungan dan kendala , berupa kemiskinan, rasa rendah diri, keterbelakangan,
kebodohan dan sebagainya……
Demokrasi di Indonesia terasa berat
untuk dilakukan karena adanya frame berpikir yang salah dalam demokrasi. Dalam
pikiran ( state of mind ) orang Indonesia belum seluruhnya terpasang pada demokrasi.
Ini dapat kita lihat pada sikap, tingkah laku, ucapan orang-orang disekeliling
kita. Yaitu sikap ingin menjadi BOSS, terus minta dilayani, mau menang sendiri,
dan selalu menyatakan pendapatnya yang paling benar dari pendapat orang lain,
bersikap segala tahu alias Mister Knowall seperti anggapan rakyat kita dahulu terhadap Raja-raja yang
dianggap serba bias ( primus interpares ).
Sementara tujuan awal adari
demokrasi adalah menghantarkan rakyat suatu negeri menuju kemakmuran, keadilan,
dan perlindungan hukum ( rule of law ) yang mengatur tata kehidupan rakyat.
Akan tetapi saat ini di negeri yang
kita cintai ini birokrasi tak dapat di kontrol dan tak biasa dan tak bisa di
kritik, ditambah maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme menambah parah
demokrasi yang kita dengung dan agungkan.
Apakah lantas berarti pers nasional tidak mampu berbuat banyak dalam
peningkatan kualitas demokrasi? Yang dapat dijawab ialah pers harus berusaha.
Dengan latar belakang yang digambarkan tadi, peningkatan kualitas demokrasi
mempersyaratkan bahwa rakyat hasrus dididik. Dididiklah rakyat supaya menjadi
tahu. Berikan kepada rakyat informasi sehingga dia dapat melakukan pilihan.
Kenichi Ohmae, guru manajemen jepang, dalam bukunya The Borderless World ,
mengutarakan: Dalam abad ke-21 di dunia akan makin dominan interlinked economy (ILE), ekonomi saling terkait. Dalam rangka ILE
itu, rakyat harus dididik, diberi informasi, agar memilih barang atau komoditas
yang paling bagus dan paling murah. Jika begitu kiatnya,, mengapa tidak kita
terapkan pula untuk mencapai peningkatan kualitas demokrasi? Didiklah rakyat.
Mengenai partisipasi politik pada saat ini , dewasa ini harus diakui
partisipasi itu belum sungguh-sungguh. Baru hanya pada aspek-aspek formal dan
institusional, belum mengenai esensi yang hakiki. Pemilihan umum kita adalah
secara teratur tiap lima tahun, partai-partai politik ada, MPR dan DPR dan juga
Presiden dan Wakil Presiden juga telah dipilih oleh rakyat. Apa yang disebut parapherinalia demokrasi, semua itu ada.
Tapi benarkah sudah dilaksanakan kedaulatan rakyat yang sebenarnya? Ini perlu
dipertanyakan. Pada pendapat saya demokrasi belum lah dijalankan.
Politik dalam sharing power atau
berbagi kekuasaan di antara berbagai kelompok kepentingan, politik dalam angsur
tolak, sedia kompromi, memberi dan menerima di kalangan pelaku-pelaku politik,
belum seluruhnya jalan.
Sarjana hukum, advokat tenar, dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Abadi
almarhum Suardi Tasrif mengatakan bahwa UUD 1945 meletakkan kekuasaan sangat besar
dalam diri Presiden eksekutif, melebihi atau setidak-tidaknya menyamai
kekuasaan Gubernur Jendral Hindia Belanda, yakni DPR sama dengan Volksraad
(Dewan Rakyat), departemen sama dengan departemen Hindia Belanda, Makamah Agung
sama dengan Raad van Indie.
Dalam setting demikian, bagaimana kita dapat bicara tentang partisipasi
politik rakyat , yang selalu di indentikan dengan demokrasi yang bersendikan
kedaulatan rakyat tersebut? Masih sulit
dan lewat suasana batin dan lahiriah dalam masyarakat yang terpasang kepada
nilai-nilai kesetiakawan, dan ketulusan nurani.
Hendaklah diusahakan berkembangnya anak-anak muda kita menjadi pengawal dan
pemimpin bangsa dan negara dalam perjalanan menuju masyarakat yang adil dan
makmur dan di atas segala-galanya yang berhaklah, a just, prosperous dan moral
society.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar